
Syawal, Himpunan Mahasiswa Prodi PAI adakan Halalbihalal
April 28, 2025
Mahasiswa PAI, Juara III Pencak Silat Bojonegoro Championship
May 8, 2025Oleh: Su’udin Aziz (Kaprodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri)
Tulisan ini disari dari Kuliah Umum yang disampaikan Prof. Amin Abdullah
Kontrak sosial baru dalam pendidikan, menuntut pendekatan yang lebih kolaboratif dan transformatif.
Pedagogi harus didasarkan pada prinsip kerja sama, kolaborasi, dan solidaritas, sehingga proses pembelajaran tidak hanya menjadi ajang transfer pengetahuan, tetapi juga ruang bersama untuk tumbuh dan berkembang.
Kurikulum perlu didesain ulang agar menekankan pembelajaran ekologis, lintas budaya, dan interdisipliner.
Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya mampu mengakses dan menghasilkan pengetahuan, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Peran guru, khususnya dosen, harus mengalami peningkatan profesionalisme. Guru perlu diakui sebagai produsen ilmu pengetahuan dalam bidang pembelajaran dan sebagai aktor utama dalam transformasi sosial dan pendidikan — bukan semata-mata sebagai penyampai materi.
Sekolah dan perguruan tinggi juga harus bertransformasi menjadi institusi yang mendukung inklusi, kesetaraan, dan kesejahteraan baik individu maupun masyarakat. Institusi pendidikan perlu ditata ulang agar mampu mendorong transformasi sosial menuju masa depan yang lebih adil, setara, dan berkelanjutan.
Selain itu, pendidikan harus terbuka sepanjang hayat dan menjangkau berbagai ruang sosial dan budaya yang beragam. Setiap individu memiliki hak untuk mengakses ilmu pengetahuan, budaya, informasi, dan konektivitas yang semakin menjadi bagian integral dari kehidupan modern.
Pembaharuan
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ramah terhadap keberagaman budaya dan keyakinan, pembaruan metode ‘Ulūmu al-Dīn perlu dilakukan dengan pendekatan yang mempertemukan tiga alam pemikiran sekaligus: subjektif, objektif, dan intersubjektif.
Pertama, pendekatan subjektif mengajak peserta didik untuk memahami agamanya sendiri secara benar, utuh, dan mendalam. Ini menjadi dasar dari kompetensi pribadi yang kuat.
Kedua, pendekatan objektif menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan dapat diobservasi melalui riset, perbandingan, dan analisis kritis. Ini mendukung terbentuknya kompetensi komparatif dalam memahami berbagai perspektif keagamaan.
Ketiga, pendekatan intersubjektif menghidupkan suara hati nurani (qalb), yaitu kesadaran terdalam dalam menjalin relasi sosial yang penuh empati dan tanggung jawab.
Ketiga dimensi ini harus melandasi perumusan kembali konsep pendidikan, teologi agama-agama, dan etika beragama yang menekankan pada kolaborasi serta pemahaman lintas keyakinan dan budaya.
Dengan demikian, pendidikan agama tidak hanya bersifat normatif-doktrinal, tetapi juga dialogis dan transformatif, selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Editor: UR