
pai.unugiri.ac.id, BOJONEGORO – Marhaban ya Ramadan, demikianlah tiga kata yang sering kita baca di banyak tempat, di flayer, di pinggir jalan, di lembaga pendidikan maupun di berbagai tempat umum lainnya pada awal Ramadan ini.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. pakar tafsir Quran Indonesia terkemuka pernah menjelaskan bahwa kata marhaban, dari akar kata rahhaba itu setidaknya mempunyai dua makna: Pertama, bermakna tanah lapang; Kedua, bermakna tempat mengambil bekal.
Jika kita memaknai dengan marhaban dengan arti yang pertama, maka maksudnya kita harus menyambut kedatangan bulan suci Ramadan ini dengan penuh suka cita, tanpa ada sikap menggerutu atas apapun yang membersamai kedatangan Ramadan.
Jangan sampai kita termasuk golongan orang yang menyambut Ramadan dengan perasaan “berat” lantaran diwajibkannya berpuasa, disunnahkannya sholat dalam jumlah yang tidak seperti biasanya, dianjurkan memperbanyak sedekah, diwajibkannya zakat dan lain sebagainya, yang mana semua itu adalah aktivitas yang bertentangan dengan nafsu.
Makna marhaban yang kedua adalah tempat mengambil bekal, artinya selama bulan suci Ramadan ini kita diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari dan mengambil bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan akhirat kita kelak.
Bekal yang dimaksud di sini adalah amal saleh, baik saleh ritual seperti sholat, puasa, membaca Quran, qiyamu Ramadan, maupun saleh sosial seperti sedekah, zakat, berbuat baik pada sesama dan sebagainya.
Ada sebuah ungkapan syair Arab yang kurang lebih artinya: Carilah bekal (untuk teman di alam kubur) dari aktivitas-aktivitas baikmu di dunia, sesungguhnya teman seseorang di alam kubur kelak adalah amalnya selama di dunia.
Ramadan, seperti yang kita ketahui merupakan bulan suci yang di dalamnya ada aneka bentuk kasih sayang Allah yang bisa kita raih. Dosa-dosa diampuni, amal baik dilipatgandakan sampai 70 kali lipat serta iming-iming laiatul qadar atau malam yang lebih mulia daripada 1000 bulan.
Selain itu, banyak ulama yang menyebut Ramadan sebagai madrasah sarana untuk melatih, melatih diri untuk menundukkan nafsu atau kesenangan-kesenangan dunia, mulai makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya.
Itulah sebabnya, di akhir ayat perintah puasa, Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 183, Allah menjanjikan kepada kita dengan ungkapan la’allakum tattaqun atau agar kalian menjadi pribadi yang bertaqwa.
Secara Bahasa kata la’alla memang biasa diartikan bisa jadi. Namun, jika itu yang berfirman adalah Tuhan, maka artinya pasti kalian bertaqwa. Tentu saja jika puasanya sesuai dengan syarat-rukunnya dan benar-benar dilakukan dengan penuh imanan wahtisaban.
Di akhir tulisan ini mari kita renungkan penggalan puisi Gus Mus atau K. H. Musthofa Bisri yang berjudul: Nasihat Ramadan.
Mustofa, Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan Ramadan bulan ampunan apakah hanya menirukan Nabi atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu begitu.
Mustofa, Ramadan adalah bulan antara dirimu dan Tuhanmu. Darimu hanya untuk-Nya dan Ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkan-Nya kepadamu. Semua yang khusus untuk-Nya khusus untukmu.
Mustofa, Ramadan adalah bulanNya yang Ia serahkan padamu dan bulanmu serahkanlah semata-mata pada-Nya. Bersucilah untuk-Nya. Bersholatlah untuk-Nya. Berpuasalah untuk-Nya. Berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya.
Sucikan kelaminmu.
Berpuasalah.
Sucikan tanganmu.
Berpuasalah.
Sucikan mulutmu.
Berpuasalah.
Sucikan hidungmu.
Berpuasalah.
Sucikan wajahmu.
Berpuasalah.
Sucikan matamu.
Berpuasalah.
Sucikan telingamu.
Berpuasalah.
Sucikan rambutmu.
Berpuasalah.
Sucikan kepalamu.
Berpuasalah.
Sucikan kakimu.
Berpuasalah.
Sucikan tubuhmu.
Berpuasalah.
Sucikan hatimu.
Sucikan pikiranmu.
Berpuasalah.
Sucikan dirimu.
Mustofa, Bukan perut yang lapar bukan tenggorokan yang kering yang mengingatkan kedlaifan dan melembutkan rasa. Perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa.
Barangkali lebih sabar sedikit dari mata tangan kaki dan kelamin, lebih tahan sedikit berpuasa tapi hanya kau yang tahu hasrat dikekang untuk apa dan siapa.
Puasakan kelaminmu untuk memuasi Ridha.
Puasakan tanganmu untuk menerima Kurnia.
Puasakan mulutmu untuk merasai Firman.
Puasakan hidungmu untuk menghirup Wangi.
Puasakan wajahmu untuk menghadap Keelokan.
Puasakan matamu untuk menatap Cahaya.
Puasakan telingamu untuk menangkap Merdu.
Puasakan rambutmu untuk menyerap Belai.
Puasakan kepalamu untuk menekan Sujud.
Puasakan kakimu untuk menapak Sirath.
Puasakan tubuhmu untuk meresapi Rahmat.
Puasakan hatimu untuk menikmati Hakikat.
Puasakan pikiranmu untuk menyakini Kebenaran.
Puasakan dirimu untuk menghayati Hidup.
Penulis: Su’udin Aziz, S.Pd.I., M.Ag., Kaprodi PAI Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri.
Editor: Usman Roin