Kampus dan Nasib Kaum Marjinal

FOTO-Mundzar Fahman. (dok.pribadi)

pai.unugiri.ac.id, BOJONEGORO – Hampir semua kampus di negeri ini selama ini sudah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yaitu, melaksanakan kewajiban di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pertanyaannya, apakah perguruan tinggi sudah melaksanakan ketiga kewajibannya tersebut secara berimbang? Atau, apakah pelaksanaan ketiga kewajibannya itu sudah menjangkau ke masyarakat pinggiran yang termarjinalkan?

Di Bulan Suci Ramadan ini, warga kampus (civitas akademika) perlu melakukan refleksi diri. Perlu bermuhasabah (introspeksi) dan berkontemplasi. Terutama, terkait dengan pelaksanaan Tri Dharmanya. Jika ternyata masih ada kekurangan, orang-orang kampus perlu segera memenuhinya.

Warga kampus harus yakin, bahwa pelaksanaan Tri Dharma yang baik akan membuahkan banyak hal positif. Tidak hanya positif bagi masyarakat, tetapi juga bagi kampus itu sendiri.

Dalam penyelenggaraan pendidikan, yang merupakan bagian dari Tri Dharma, semua kampus sudah melaksanakannya secara memadai. Artinya, setiap kampus sudah mendidik para mahasiswanya, sesuai jurusannya dari semester awal hingga akhir. Tapi harus diakui, kampus belum banyak mendidik warga yang bukan mahasiswanya.

Dalam penyelenggaraan penelitian, yang juga merupakan bagian dari Tri Dharma, semua kampus (negeri ataupun swasta) juga sudah melakukannya. Tapi harus diakui, frekuensi penelitian ini masih sangat kurang. Umumnya, kampus di negeri ini, mewajibkan mahasiswa melakukan penelitian dikaitkan dengan kewajiban mahasiswa menyusun skripsi. Para dosen juga jarang melakukan penelitian secara murni. Kecuali yang berorientasi pada dana hibah.

BACA JUGA: Hikmah Berpuasa

Dalam penyelenggaraan pengabdian kepada masyarakat, yang merupakan kewajiban ketiga dari Tri Dharma, nasibnya hampir sama dengan bidang penelitian. Umumnya, kampus mewajibkan mahasiswa melakukan pengabdian kepada masyarakat menjelang akhir masa studi. Biasanya dikemas dalam bentuk kuliah kerja nyata (KKN) selama satu bulan.

Menurut penulis, pelaksanaan kewajiban penelitian dan pengabdian kepada masyarakat masih terlalu sedikit. Sangat tidak sebanding dengan kewajiban pendidikan. Masih jomplang. Dan, kondisi ini tidak hanya terjadi di kampus-kampus swasta. Kampus-kampus negeri pun hampir sama. Juga, tidak hanya terjadi di kampus-kampus kelas bawah. Kampus-kampus yang sudah mapan, bahkan kampus papan atas pun mengalami hal yang hampir sama.

Nah, pertanyaan yang lebih khusus, sesuai dengan judul tulisan ini, bagaimana pengabdian warga kampus kepada masyarakat pinggiran? Yaitu, masyarakat yang mendiami desa/dusun terpencil, warga yang termarjinalkan? Mereka ini adalah orang-orang yang sangat membutuhkan uluran tangan dari orang lain.

Yang penulis maksud dengan warga termarjinalkan adalah mereka yang tinggal di sebuah desa/dusun kecil. Terpencil. Jumlah warga di sana hanya puluhan keluarga (terutama yang berupa dusun). Lokasi dusunnya terpisah sekian kilometer dari desa induk. Kondisi jalannya sangat jelek. Terutama jika musim hujan. Secara ekonomi, umumnya mereka kategori miskin.

Penulis yakin, di setiap kabupaten di negeri ini, terutama di luar Jawa, masih banyak dusun seperti yang penulis gambarkan itu. Tidak banyak yang peduli terhadap mereka. Para politisi tentu berhitung (itung-itungan) untuk membantu mereka. Begitu pula para pejabat publik, misal kepala daerah ataupun calon kepala daerah. Mengapa politisi dan pejabat itung-itungan?

Pertama, karena jumlah mereka dalam satu dusun, tidak banyak. Secara politik, suara mereka tidak berpengaruh signifikan terhadap perolehan kursi. Suara mereka hanya puluhan. Ya…, paling hanya dua ratusan.

Kedua, kepedulian terhadap mereka membutuhkan biaya besar. Misal, anggaran untuk perbaikan/pembangunan sarana transportasi dari dan ke lokasi mereka. Pejabat atau politisi umumnya lebih suka mengeluarkan sedikit biaya tetapi menghasilkan suara banyak dalam pemilu.

Lalu, apa akibat yang terjadi di dusun-dusun terpencil itu? Anak-anak di sana masih kesulitan meneruskan sekolah yang lebih tinggi atau atas. Umumnya hanya SD. Setelah SD, mereka kesulitan meneruskan ke SMP karena lokasinya jauh dan medannya sangat berat. Begitu pula umpama ada yang ingin meneruskan ke SMA.

Banyaknya kasus pernikahan dini, antara lain juga karena faktor alam, ekonomi, dan pendidikan. Alamnya jauh terpencil, ekonomi tidak mendukung, dan kesadaran orang tua dan anak tentang pendidikan juga masih kurang.

Akibatnya, mereka terus terkungkung secara turun termurun dalam kondisi seperti itu. Ini tantangan warga kampus untuk lebih peduli kepada warga yang terpinggirkan itu.

Kepedulian warga kampus kepada mereka tidak harus berupa bantuan materi. Misal dengan membangunkan jalan yang baik. Tetapi bisa berupa memberikan edukasi kepada mereka tentang pentingnya pendidikan. Mereka butuh sentuhan-sentuhan keagamaan.

Atau, warga kampus menjembatani mengusahakan bantuan dari pejabat untuk pengadaan listrik, pengadaan jaringan komunikasi, dan lainnya. Menurut penulis, itulah pengabdian yang lebih riil dari warga kampus kepada masyarakat yang sangat membutuhkan kepedulian dan uluran tangan warga kampus. Wassalam.

* Dr. H. Mundzar Fahman, M.M., Penulis adalah Dosen Prodi PAI Unugiri.

Editor: Usman Roin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *