Panduan Mendidik Anak Era Milenial

FOTO-Keluarga Hamam Burhanuddin. (dok.pribadi)

pai.unugiri.ac.id, BOJONEGORODidiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu. Petikan kalimat dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib di atas adalah sebuah pesan moral dan spiritual kepada orang tua tentang pentingnya sebuah pendidikan bagi anak sesuai dengan masanya.

Zaman sekarang ini, tantangan semakin kuat. Arus perkembangan teknologi informasi tidak bisa dibendung lagi. Sisi budaya, pergaulan dan perkembangan anak-anak saat ini rentan sekali terhadap hal-hal negatif yang tidak diinginkan.

Anak-anak mempunyai keinginan besar untuk melakukan sesuatu hal yang bagi mereka asyik dan menarik, terutama anak usia dini, karena mereka tidak memikirkan apa akibat yang akan ditimbulkan.

Sehingga tidak menutup kemungkinan, banyak orang tua yang mengalami kegaulauan. Ada orang tua yang terlalu protektif, mereka membatasi pergaulan anak. Bahkan mengkungkung anak dan mengisolasinya dari perkembangan zaman. Sementara itu, di satu sisi, ada orang tua yang membiarkan anaknya tumbuh berkembang sesuai zaman yang berlangsung tanpa melakukan kontrol.

Beberapa kekhawatiran itu adalah wajar adanya. Sehingga, yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, bagaimana orang tua dalam mendidik anak sesuai zamannya itu seperti apa?

Dalam konteks ini, orang tua harus mempelajari dan mengamati perkembangan zaman, agar mampu beradaptasi secara optimal. Tepatnya mengenai pendidikan anak sesuai zaman, diartikan mengarahkan anak-anak supaya mampu bertahan (survive) terhadap zaman di mana dia hidup. Sehingga mampu menjadi insan yang mandiri dan kontributif bagi kemaslahatan umat.

Perlu orang tua ketahui, bahwa anak merupakan titipan dari Allah yang sangat berharga dan harus dijaga. Anak merupakan kado terindah dan anugerah bagi orang tua yang tiada tara. Dia akan menjadi penghibur dikala suasana gundah melanda.

Di sisi lain anak akan menjadi masalah bila kita tidak mampu mendidiknya secara benar. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mendidik dan mengajarkan pendidikan sesuai dengan tuntunan Islam.

Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin (2004), dalam teori generasi (generation theory) menjelaskan, terdapat 5 generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya. Generasi baby boomer, lahir 1946-1964, generasi X, lahir tahun 1965-1980, generasi Y, lahir tahun 1981-1994 atau sering disebut millennial, generasi Z, lahir tahun 1995-2010 atau sering disebut iGeneration, Generasi Net, ataupun Generasi Internet, serta generasi alpha, lahir tahun 2011-2025.

Generasi-generasi tersebut menurut Codrington ternyata memilik karakteristik tersendiri sesuai dengan zamannya. Namun demikian, dalam kajian Islam perihal pendidikan anak dalam Islam telah termaktub dalam Al-Quran, dapat ditemui beberapa ayat, sebagaimana surat At-Tahrim: 6: Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.

Oleh karena itu, sejak dini anak harus mulai dari ditanamkan pendidikan Islam mulai dari lingkungan terdekatnya, yaitu orang tua.

Beberapa tuntunan pendidikan anak dalam Islam ialah mengajarkan akidah dan ketauhidan. Akidah dan tauhid merupakan landasan dalam ajaran Islam. Apabila seseorang berakidah dan bertauhid, maka niscaya ia akan mendapatkan keselamatan dunia, maupun akhirat.

Begitu pun sebaliknya, tanpa akidah dan tauhid seseorang bisa terjurumus dalam keburukan. Karenanya, penting bagi orang tua untuk terlebih dahulu paham mengenai ilmu agama, paling tidak untuk menjelaskan perihal ajaran Islam.

Hal ini tentu saja untuk melancarkan upaya pendidikan anak berdasarkan ajaran agama Islam. Islam sendiri memerintahkan kita untuk banyak “membaca”. Landasan itu menjadi dasar hukum mengenai belajar firman Allah surat Az-Zumar: 9: Katakanlah (Ya Muhammad), tidaklah sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, sesungguhnya orang yang memiliki akan pikiran adalah orang yang dapat memberi pelajaran.

Ayat di atas menegaskan, bahwa orang yang berilmu tersebut tidak sama dengan orang yang tidak berilmu, karena hanya orang yang berilmulah yang dapat menerima pelajaran.

Riwayat Ibnu Abbas mengatakan: Rasulullah Saw bersabda: Siapa yang ingin meraih kehidupan dunia dengan baik, maka harus dengan ilmu. Begitu juga siapa yang ingin meraih kesuksesan di akhirat, maka juga harus dengan ilmu. Dan siapa saja yang ingin meraih kedua-duanya, maka harus dengan ilmu.

Hadits di atas menjelaskan, ilmu adalah segala-galanya dan wajib dituntut oleh kaum muslimin dan muslimah serta siapa saja yang ingin mencari kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat.

Dua kebahagiaan tersebut baru bisa dicapai adalah dengan ilmu (pendidikan). Karena kebahagiaan merupakan tujuan setiap manusia, Seseorang yang menempuh jalan kebahagiaan berarti sedang menuju pada kesempurnaan.

Kebahagiaan sendiri menurut Ibn Bajjah manakala seseorang telah mencapai dalam hidupnya martabat ilmu atau hikmah atau keberanian atau kemuliaan. Ia juga sadar sebagai seseorang yang berilmu, bijaksana, berani atau mulia, lalu ia berbuat sesuatu dengan apa yang diketahuinya, tanpa ria dan tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Maka itu ia merasa ketenteraman batin dan mengetahui hakikat hidup dan wujud itu.

Berdasarkan kutipan di atas, kebahagiaan apabila seseorang telah mencapai tujuan hidupnya, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari berdasarkan ilmu sehingga ia menjadi orang yang bijaksana, beramal mulia dan bermartabat.

Kebutuhan seseorang dalam Islam terhadap Pendidikan, bukanlah hanya sekedar mengembangkan aspek individual dan sosial yang bersifat mementingkan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik saja. Akan tetapi, juga untuk mengarahkan naluri agama yang telah ada dalam setiap diri anak, karena pada dasarnya setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam.

Naluri agama yang dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia ini merupakan suatu pedoman yang harus di tanamkan kepada anak sejak dini. Sehingga, proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama tersebut ke arah yang sebenarnya.

BACA JUGA: Ramadan dan Urgensi Siar Moderasi

Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak tidak mungkin tumbuh dan berkembang baik tanpa adanya latihan dan bimbingan yang bersifat mendidik. Pendidikan tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani anak.

Pendapat lain menerangkan, bahwa pendidikan itu adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan serta kehidupan di alam sekitarnya.

Dalam hal ini anak-anak dididik cara bergaul dengan masyarakat dan lingkungannya. Sehingga anak akan mampu mengemban tanggung jawab kepemimpinan masa depan yang sukses.

Kalau pendidikan anak diperhatikan dengan benar, maka dapat diharapkan dikemudian hari akan muncul generasi baru yang berkualitas, sehat fisik dan akalnya, sempurna akhlaknya serta mampu melaksanakan dan mengemban cita-cita orang tua dan bangsa secara bertanggung jawab.

Anak ketika pertama dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan kurang berpengetahuan, sehingga memerlukan kepada bantuan orang lain untuk mendidiknya hal ini sebagaimana firman Allah Swt surah An-Nahl: 78; Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui apa-apa.

Bantuan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak adalah untuk mengembangkan potensinya menjadi manusia dewasa yang dapat mengemban tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.

Tips Mendidik

Ada beberapa tips yang praktis yang diberikan oleh Ali Bin Abi Thalib r.a tentang memberikan pendidikan anak berdasarkan tahap usia perkembangannya.

Tujuh tahun pertama merupakan fase golden age (usia emas) setiap anak. Dimana pada usia ini, satu-satunya otak yang baru berkembang sempurna adalah “otak reptil” yang juga dimiliki oleh hewan.

Karakterisktik dari otak reptile sebagaimana mengutip Direktorat PAUD, 2004 adalah kemampuan pertahanan diri anak dari ransangan. Hasil sebuah penelitian mengatakan bahwa sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi pada usia 4 tahun, 80% telah terjadi pada usia 8 tahun, dan mencapai titik tertinggi pada usia 18 tahun.

Pada usia emas ini adalah usia dimana anak hiperaktif dengan tingkat emosional yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kemampuan meniru dan menyerap setiap yang disaksikan anak terjadi pada usia ini.

Maka dari itu, hindari pertengkaran orang tua di hadapan anak usia emas ini dan hal-hal negatif lainnya seperti; berbohong, mencela, mengumpat, berbuat kekerasan, berkata-kata kotor, dsb. Karena akan berdampak buruk pada pertumbuhan emosional anak, yaitu tumbuh dengan penuh kecurigaan.

Oleh sebab itu, dampingan arahan dan bimbingan pendidikan dari orang tua sangatlah penting untuk mengisi dengan nilai-nilai ketauhidan, tauladan yang kongkrit, bermakna bagi anak.

Usia 7 tahun kedua, Khalifah Ali bin Abi Thalib mengingatkan, anak pada usia ini hendaklah di didik layaknya tawanan perang; penjagaan penuh, dengan segala ketegasan dan komitmen yang tinggi dalam menerapkan segala peraturan.

Rasululllah Saw juga menganjurkan kepada kita dalam sabdanya, untuk memerintahkan anak untuk mengerjakan shalat yang apabila pada usia 10 tahun masih meninggalkan shalat, hendaklah dipukul (dengan pukulan yang mendidik) agar menimbukan efek jera pada mereka.

Kata “pukul” dalam konteks ini adalah “memukul hatinya” dalam artian doronga psikis yang bisa memberikan kesadaran akan perilaku baik yang harus dikerjakan dan perilaku buruk yang harus ditinggalkan.

Pada usia ini, anak mulai dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Dianjurkan kepada orang tua untuk membiasakan anak dengan kegiatan-kegiatan kemandirian, memberi hukuman jika bersalah dan memberi reward jika melakukan hal-hal yang prestatif.

Hindari mendidik anak dengan menjanjikan reward apabila mau melakukan hal-hal yang kita perintahkan. Sebab, hal demikian hanya akan mendidik anak menjadi pribadi yang pamrih, hanya akan mau melakukan suatu perbuatan jika ada imbalan.

Hal yang perlu ditonjolkan pada usia 7 tahun kedua ini adalah penyadaran penuh kepada anak bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Memberi Balasan yang berlipat-lipat atas setiap baik-buruknya perbuatan kita.

Menjadikan anak layaknya sahabat, merupakan salah satu nasehat Ali bin Abi Thalib terhadap anak diusia 7 tahun ketiga ini. Sebab diusia 15-21 tahun ini adalah usia dimana anak masih dalam masa pencarian jati dirinya. Labilitas tingkat tinggi. Maka, yang paling dan sangat dibutuhkan oleh mereka adalah orang-orang yang dapat memahami perasaan mereka, yang dapat memberikan solusi setiap permasalahan yang sedang mereka alami.

Pada usia remaja menuju dewasa ini anak-anak cenderung mencari ‘kenyamanan’ itu pada lawan jenis. Kerap kali, posisi orang tua menjadi tergantikan karena kehadiran ‘orang ketiga’ dalam kehidupan anak-anak. Meski raganya bersama orang tua, tetapi hati dan fikirannya sudah tidak lagi berada dalam kebersamaan didalam keluarga.

Usia remaja adalah usia yang membuat anak-anak terobsesi mengikuti setiap fantasi yang ada didalam fikiran mereka. Terutama bagi remaja diera digital, tontonan acapkali menjadi tuntunan; meniru dan mecomplak setiap tokoh yang diidolakan.

Mereka mulai silau dengan fana dan fatamorgana. Kebahagiaan dan kesenangan selalu menjadi keniscayaan. Bahkan tidak sedikit remaja kekinian lupa dengan cita-cita yang dulu mereka gadang-gadangkan dimasa kanak-kanaknya.

Maka, sudah seharusnya para orang tua menjadi sahabat bagi anak-anaknya diusia 7 tahun ketiga ini. Jangan biarkan masa remaja anak-anak kita rusak oleh modernisasi .

Remaja yang rusak adalah kegagalan penanaman aqidah dan akhlakul karimah diusia emas dan masa tawanan perang. Tegas tidak harus keras. Tetapi tegas, harus tegaan. Maksimalkan pendidikan anak di setiap fase perkembangannya, sebelum mereka tumbuh menjadi pribadi yang gagal dan kehilangan masa depannya.

Pakar psikologi anak mengamati, realitas anak dan remaja di era modern ini cenderung mudah bosan, stress berkepanjangan, selalu merasa kesepian meski di keramaian, takut dimarahi dan mudah lelah. Semua jenis layar, membuat otak dan mata anak menjadi fokus. Bukan fokus aktif, melainkan fokus pasif. Sehingga, anak tidak lagi aware dengan lingkungan.

Beberapa solusi yang saya rasa dapat sedikit membantu permasalahan orang tua dalam mendidik anak ini terutama pendidikan di dalam keluarga: Pertama, menjalankan fungsi dan tatanan keluarga dengan baik (yaitu kerjasama antara Ayah dan Bunda); Kedua, membuat kesepakatan dengan anak, me-manage aktivitas harian mereka mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, tanpa mengekang hak bermainnya.

Ketiga, ciptakan kebersamaan dengan anak sebaik mungkin untuk melatih anak agar mereka selalu terbuka pada orang tua dan tidak mencari tempat curhat lain selain orang tuanya.

Keempat, usahakan 30 menit dalam 24 jam yang kita punya, untuk mengevaluasi aktivitas hariannya, berdialog mendengarkan curahan hati dan perasaan mereka. Meski tidak dapat memberi solusi, setidaknya jadilah orang tua yang bersahabat, yang selalu membuat anak merasa nyaman dan terbuka dengan kita. Semoga bermanfaat.

* Dr. Hamam Burhanuddin, M.Pd.I., Kaprodi Magister PAI dan Dosen Prodi PAI Unugiri.
Editor: Usman Roin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *