Ramadan dan Urgensi Siar Moderasi

FOTO – Zaini Miftah. (dok. pribadi)

pai.unugiri.ac.id, BOJONEGORO – Ceramah keagamaan kerap menghiasi layar televisi saat momentum Ramadan berlangsung. Hampir semua stasiun televisi, berlomba-lomba membawakan acara siraman ruhani, sekaligus menyiarkan berbagai pandangan halus keagamaan kepada seluruh pemirsa di jagad negeri ini. Sebagian besar narasumber, membahas tentang tasawuf yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan puasa Ramadan.

Bulan suci ini, memikat naluri hati umat Islam untuk menyelami dimensi Ilmu Tasawuf. Ini benar-benar membawa sifat yang lebih sakral bagi kehidupan masyarakat, meningkatkan citra diri baik secara fisik maupun spiritual. Introspeksi kecil ini, mengajak umat Islam untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip tasawuf dan moderasi.

Islam adalah agama wasathiyah, moderasi. Al-Qur’an secara khusus menyebutkan wasathan (tengah, adil, pilihan) dalam Surat al-Baqarah:143: Wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan. Dalam hadits riwayat Al-Baihaqi disebutkan pula bahwa, Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Sejarah mencatat, setidaknya ada 3 varian pemahaman yang mewarnai cara beragama, yakni radikal, moderat, dan liberal.

Arti Moderasi

Pada dasarnya, moderasi beragama merupakan jalan tengah sebagai titik temu antara pemahaman dan pengamalan tatharruf tasyaddud (ekstrimis radikal, ekstrim kanan) dan tatharruf tasahhul (ekstrim meremehkan, esktrim kiri). Begitu juga antara tekstual fanatisme buta dan konstekstual rasionalitas, ekstrim eksklusif kebenaran tunggal dan ekstrim semua benar, serta ekstrim absolutisme dan ekstrim relativisme.

Dalam konteks ini, maka menggali nilai-nilai Ramadan yang menyiratkan pesan moderasi beragama dan berbangsa sebagai momentum menebarkan rahmatan lil alamin. Ulama dan cendekiawan Islam menyematkan Indonesia sebagai Dar as-Salam (negara damai), dengan satu tujuan agar semua anak bangsa yang terdiri dari lintas agama, suku, ras, dan golongan bisa hidup berdampingan secara damai. Dengan terciptanya kerukunan, persaudaraan, dan kebersamaan menjadi kunci pembangunan bangsa yang pluralistik dan heterogenistik ini.

Para ulama nusantara menggerakkan moderasi Islam sebagai agama yang terus adaptif dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi. Terutama, dalam meningkatkan pahala ibadah, memperbanyak baca al-Qur’an dan menggali wawasan keislaman di berbagai majelis.

Nilai-nilai spritual ini yang membuat mindset umat Islam berpikir tawassuth, tasamuh, dan tawazun. Sejatinya umat moderat adalah manusia harus beraktualisasi dan beradaptasi dengan zaman yang sudah modern ini. Situasi demikian yang mengantarkan umat Islam fokus memajukan peradaban.

Spirit Moderasi

Semangat moderasi yang dibangun melalui puasa Ramadan dapat digali melalui nilai-nilai bathiniah yang sangat relevan dalam menumbuhkan pesan moderasi beragama dan berbangsa. Spirit moderasi tersebut dapat dipahami dari:

Pertama, puasa Ramadan mengajarkan menahan diri dari berkata bohong, mencela dan mencaci maki, mengadu domba, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan sumpah palsu. Termasuk juga didalamnya tidak menyebarkan berita hoax dan content negatif destruktif, dengan menyebar fitnah yang menyebabkan kebencian dan permusuhan karena saling menyalahkan dan menghakimi.

Hal itu sesuai dengan hadis dari Rasulullah SAW riwayat Bukhari: Orang yang tidak menjauhi perkataan dusta dan mengamalkan dustanya, maka tak ada hajat bagi Allah untuk menilai puasanya meski ia bersusah payah seharian menjauhi makanan dan minuman.

Kedua, spirit berbagi dengan sesama, khususnya mereka yang membutuhkan. Spirit berbagi adalah semangat yang lahir dari rasa empati dan rasa cinta kepada sesama. Kepekaan sosial inilah yang akan menjadi bekal hadiah bagi seseorang yang telah melakukan ibadah puasa dalam satu bulan untuk menghadapi bulan-bulan setelah bulan Ramadan.

BACA JUGA: Pendidikan Hati

Esensi ibadah puasa dalam aspek sosial adalah menjadikan seseorang memiliki jiwa sosial tinggi, peka terhadap lingkungan, selalu memberikan pertolongan bagi yang membutuhkannya, serta ikhlas dalam setiap perbuatannya tanpa ada pamrih.

Ramadan sebagai bulan untuk melatih kesabarannya dan melatih kepekaan diri terhadap masalah sosial. Bahkan cinta kepada kemanusiaan adalah strata keimanan yang agung sehingga Nabi memerintahkan umat Islam untuk mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Perintah kewajiban puasa dengan landasan ayat al-quran dan hadits diatas menguatkan umat islam untuk senantiasa menjalankan ibadah puasa. Pada bulan Ramadan, kita juga perlu adanya moderasi antar umat Islam yang menjalankan ibadah puasa, seperti halnya sebelum datangnya bulan Ramadan sebagian ulama menentukan datangnya bulan Ramadan dengan metode hisab dan rukyat.

Ada juga yang sepakat dengan dua metode tersebut, ada juga yang cukup menggunakan hisab saja, akan tetapi kita harus saling menghargai dan menghormati dengan adanya perbedaan pendapat terutama dilingkungan sekitar ada yang memiliki tetangga yang berbeda pendapat dari kita.

Prinsipnya kita sebagai sesama umat bergama harus senantiasa menjaga silaturahmi, menghargai, dan menghormati antar sesama, karena dengan menghormati dan menghargai akan terbentuk lingkungan yang harmonis dan rukun antar umat islam.

Fenomena perbedaan pendapat di bulan Ramadan memang banyak. Bukan sekedar contoh di atas yang telah digambarkan. Ada juga hal lain yang menjadikan perdebatan seperti dalam perlaksanaan salat tarawih. Ada yang melakukan 20 rakaat dan juga yang 8 rakaat.

Keduanya sangat baik dan diperbolehkan, karena hukum salat tarawih sendiri sunnah. Jadi, dengan landasan dan pemikiran yang mendasar, serta dalil-dalil yang menguatkannya kita diperbolehkan melaksanakan salat tarawih dengan ketentuan rakaat yang berbeda, dan tidak menjadikan permasalahan bagi kita seorang muslim.

Itu karena, adanya kekuatan moderasi beragama yang menjadikan kita dapat menghargai, menghormati dan memiliki sikap toleransi dan tenggang rasa serta legowo.

Nilai moderat atau wasathiyah penting untuk dipertahankan sebagai kesadaran kolektif umat Islam di Indonesia. Hal ini, karena nantinya akan menjadi ikatan kesopanan dalam menghadapi keragaman dalam tubuh Muslim itu sendiri serta keragaman pihak lain. Melalui momentum bulan suci Ramadan ini, spirit moderasi sangat penting untuk menguatkan rasa persaudaraan dan kemanusiaan kita.

Dengan terciptanya kerukunan, persaudaraan, dan kebersamaan menjadi kunci pembangunan bangsa yang pluralistic. Maka menyambut datangnya bulan suci Ramadan ini, kita tingkatkan spirit moderasi beragama demi terwujudnya toleransi dan kerukuan, baik di tingkat lokal, nasional maupun global.

Puasa Ramadan dengan jelas mengajarkan untuk menahan diri dari berkata bohong, mencela dan mencaci maki, mengadu domba, melihat lawan jenis dengan syahwat serta sumpah palsu.

Termasuk juga didalamnya tidak menyebarkan berita hoaks dan content negatif destruktif, dengan menyebar fitnah yang menyebabkan kebencian dan permusuhan karena saling menyalahkan dan menghakimi. Dalam masyarakat yang heterogen dan multikultural ini, moderasi beragama bukan sekedar pilihan, melainkan kewajiban bersama untuk merajutnya.

Yang menggelitik di benak penulis sebagai pertanyaan mendasar adalah, mengapa ujaran kebencian (hate speech), intoleran, pengkafiran dan perilaku-perilaku ekstrim lainnya masih saja terjadi di dunia maya selama bulan puasa Ramadan ini?

Padahal, di bulan Ramadan, Allah SWT memberi mereka kesempatan emas untuk berbenah diri untuk menghindari kata-kata buruk, provokasi, hinaan, fitnah, menebar hoax, menyakiti orang lain dan menyulut api permusuhan.

Kuatkan Persaudaraan

Ramadan merupakan ritual Islam yang menjadi penyejuk umat Islam dalam melatih diri dengan merawat kesunyian dan kedamaian hati. Sedangkan moderasi Islam sebagai aturan modern umat beragama untuk berdamai dengan Allah, dan sesama manusia.

Perdamaian ini yang dikategorikan islah bil bathiniyah wa dhahiriyah demi terciptanya peradaban. Artinya, peradaban itu tercipta oleh umat Islam yang menjauhkan diri dari perilaku yang tatharruf, ghulluw, tanattuk, dan mujwazzat al-had atau berlebih-lebihan hingga melawati ambang batas.

Puasa merupakan proses pembentukan ketakwaan yang secara ideal melahirkan spiritualitas utama dan luhur. Puasa tidak boleh hanya menjadi ibadah rutin tahunan, perlu ada peningkatan yang signifikan pada kualitas diri umat Islam.

Selain itu, puasa menjadi momentum menjaga persatuan, kesatuan, dan toleransi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengendalikan diri dari emosi amarah dan kebencian sehingga hidup menjadi damai serta rukun dalam persaudaraan.

Puasa harus melahirkan gerakan sosial kebangsaan yang membuat kita kaum muslim sebagai kekuatan perekat bangsa dan pembawa perdamaian untuk mencegah konflik. Puasa juga seharusnya menjadikan insan yang menghargai perbedaan (tasamuh), toleran, membawa pada persaudaraan (ukhuwah).

Keteladanan Rasulullah tidak hanya bagaimana menjaga akhlak di hadapan Allah, melainkan bersikap rendah hati dan menghormati kepada umat non-Muslim yang tidak berpuasa. Sisi spiritualitas umat Islam yang teladan bukan sekedar berpuasa di bulan Ramadan saja, tetapi juga menyiarkan moderasi Islam yang tujuannya adalah mewujudkan toleransi beragama.

Pada dasarnya, Ramadan dan moderasi Islam sebagai pedoman spritual yang melahirkan umat yang menjunjung tinggi adab, dan moral. Sehingga terciptalah etika sosial yang membuat umat Islam di belahan mana pun bergairah meneladani. Refleksi tasawuf modern ini tujuannya adalah untuk mendekatkan manusia pada perilaku yang ramah, dan lemah lembut.

Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dus mengatakan, “Jika kita muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa”. Pandangan Gus Dur justru bukan menyepelekan pentingnya syariat agama, sebaliknya beliau ingin Islam menjadi agama yang menampilkan keteladanan Rasul (mulia) lewat perilaku manusianya.

Akhirnya, siraman rohani di bulan suci Ramadan ini membutuhkan penceramah agama yang mengkorelasikan hubungan Ramadan dan siar moderasi Islam. Di era digital, moment puasa perlu menghadirkan wahana kehidupan yang tentram, damai, dan toleran. Semangat keberagamaan seperti ini tidak lain bertujuan meramaikan dunia maya melalui ajaran Islam.

Dengan demikian, malalui Ramadan kita tingkatkan spirit moderasi beragama dan berbangsa demi terwujudnya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Spirit moderasi yang dibawa Ramadan melalui sikap yang menghormati harkat martabat orang lain, dan semangat berbagi dengan sesame.

Alhasil, akan menimbulkan rasa empati dan cinta kepada sesama sejatinya dapat menolak sikap ekstremisme dan liberalisme dalam beragama demi terwujudnya perdamaian dan harmoni dalam kebangsaan. Dalam masyarakat yang heterogen dan multikultural ini moderasi beragama dan berbangsa bukan sekedar pilihan, melainkan kewajiban bersama untuk merajutnya.

* Zaini Miftah, M.A., adalah Dosen Prodi PAI Unugiri.
Editor: Usman Roin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *